Jurnalisme Tidak Akan Pernah Mati

20.49 Edit Artikel

Oleh : Salman Rais


Anda kenal Dan Rather? Sama saya pun tidak kenal, pun pada taraf familiar. Dan Rather adalah jurnalis TV popular di Amerika Serikat, dalam film dokudrama Truth (2015), disebutkan bahwa dirinya ambil bagian dalam proses sejarah di mana berita TV menjadi komoditas menguntungkan. Dia pembawa acara 60 Minutes, satu acara yang dalam preferensi penulis sempat jadi obrolan di kampus jurnalistik, karena mainstream, mainstream, dan mainstream. Dalam hal ini jurnalistik bermutu yang menjadi mainstream semacam pantheon, atau puncak yang mesti dicapai oleh para jurnalis. Karena kebenaran yang ditampilkan bisa menggugah jutaan orang yang menjadi pemirsanya untuk bergerak dan melakukan format pemikiran ulang.


Sejujurnya kita di Indonesia mesti bahagia karena tidak mengenal sebanyak mungkin tokoh tokoh jurnalis . Karena pada saat kita telah mengenalnya, dan mengetahui mereka punya kesulitan besar untuk bisa hidup di era sosial media, pada saat itulah kita paham bahwa negeri ini tidak punya masa depan, dan itu bisa membuat hati kita yang berharap perubahan lebih baik menjadi sakit. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat saat ini, di mana mutu, bias reporter, metode suatu pemberitaan lebih dipermasalahkan, dibandingkan kebenaran material.


Saat Dan Rather roboh oleh berita nya sendiri. dipaksa mengundurkan diri, lalu tiba era di mana penyajian kebenaran dalam proses jurnalisme tidak lagi heroik, tidak lagi membawa semangat atau valor nya, dan saat keterbukaan informasi tidak dimaksudkan untuk memunculkan suatu karya jurnalistik yang bagus. Jika kredensi jurnalis di Amerika memburuk, apalagi di negara kita di mana ada di antara mereka yang terdidik formal dan mengecap gelar hingga doktoral, menjadi professor, menyebarkan berita online berisikan hoax buatan mahasiswa.


Jurnalisme di Indonesia bahkan belum memulai kredensinya sendiri dengan munculnya peliputan yang serius, dengan paper trail, atau verifikasi ketat pada narasumber dan kukuh pada otentisitas, yang lantas tersaji berita benar benar menggoyahkan hati orang banyak. Dan ini bukan karena kita tidak pernah menghasilkan sosok jurnalis hebat, jurnalis kita hebat hebat, nyawa jadi mainan, nekat selalu nomer satu, metodologi bisa lebih garang dari jurnalis di AS, tapi lebih pada pemirsanya, khalayaknya, karena khalayak Indonesia mana yang concern pada nilai jurnalisme?
Ketika kami di Gugah.id mendapatkan tantangan, untuk melakukan proses Literasi Media, ada semacam self screening, apakah blogger pantas melakukan proses Literasi Media? Tidak ada modal = tidak ada keseriusan, tidak ada rutinitas = kemalasan,  pendeknya dalam kategori manapun Gugah.id tidak pantas melakukan proses literasi, justru malah ikut dalam kondisi iliterasi yang saat ini masih menyengat publik Indonesia.


Apa yang kami lakukan selama ini adalah mencoba “menimpali” hasil pemberitaan yang sudah tersajikan di media yang beredar. Membangun opini dan bukan riset pada apa yang tersaji, membentuk anggapan dari data data orang ketiga, dalam semangat ingin seolah membuatnya terlihat benar, bekal kami sekedar mengolah ulang logika pembacaan, dan mereduksi flaw flaw hasil kerja jurnalistik orang lain, jelas ini bukan kerja jurnalisme, mendekatinya pun tidak.


Sekedar apologetik, apa yang kami lakukan gugah.id adalah sekedar bermedia. Bukan menyajikan laporan dengan kualitas jurnalisme tinggi. Bermedia, memanfaatkan media untuk melakukan provokasi pada pemikiran pemikiran Anda tentang suatu kejadian yang terlintas di setiap media. Dengan kata lain, kami membantu Anda membaca peristiwa, kami membacakan ulang suatu peristiwa, kami mendiktekan kembali peristiwa-peristiwa dalam aksentuasi penyajian yang berbeda dari apa yang sebelumnya tampak di media masa.
Tapi perlu menjadi catatan, bahwa kami mengerti benar mana hasil jurnalisme yang baik, dan mana yang fuck off. Kami terobsesi untuk menyebarkan pemahaman, dan panduan kepada khalayak agar mampu membaca kualitas jurnalisme yang unggul. Karena memang, Indonesia masih berada di titik ini. Di titik berupaya untuk kenal, mana produk jurnalisme yang baik, dan mana yang bohong.


Ketika Anda sebagai khalayak tidak mampu membedakan antara hasil jurnalisme yang baik, dengan yang bohong. Dengan kata lain, jika Anda tidak mampu membedakan hasil jurnalisme yang salah dan benar, dan hasil jurnalisme yang baik dan buruk Anda hidup di dunia real dengan panduan hidup yang salah. Dan panduan hidup yang salah itu Anda ikut bersikap salah, jika kesalahan dilakukan secara massal, hasilnya adalah kehancuran. Dan secara literal, kematian semua orang, seperti apa yang terjadi di negara konflik.
Di Amerika Serikat, jurnalisme memang tengah sekarat, tapi sejujurnya jurnalisme tidak akan pernah mati. Tidak ada yang gembira melihat matinya ilmu jurnalisme untk sekedar memuaskan ego persoal, bahkan dari para jurnalis pinggiran sendiri. Tidak ada dendam atau iri hati dari mereka yang menulis di blog dan menggantungkan diri pada pay for click dengan mereka yang dibayar dalam slip gaji mahal di media besar. Kita para jurnalis, baik eceran ataupun borongan, sama sama jurnalis yang terikat oleh kode etik dan keluhuran profesi.


Walau ada di antara kami yang tidak melakukan proses jurnalis yang bagus, namun, bagi jurnalis yang pernah dididik kode etik, tidak akan mengkhianati prinsip akan kebenaran dan penyajian fakta. Karena jurnalisme tidak akan mati, pemirsanya lah yang rugi dan menapak jalan pada kematian budaya dan lalu kematian fisik suatu bangsa.**
Previous
Next Post »
Show comments
Hide comments