Anda kenal Dan Rather? Sama saya pun tidak kenal, pun pada taraf
familiar. Dan Rather adalah jurnalis TV popular di Amerika Serikat,
dalam film dokudrama Truth (2015), disebutkan bahwa dirinya ambil bagian
dalam proses sejarah di mana berita TV menjadi komoditas menguntungkan.
Dia pembawa acara 60 Minutes, satu acara yang dalam preferensi penulis
sempat jadi obrolan di kampus jurnalistik, karena mainstream,
mainstream, dan mainstream. Dalam hal ini jurnalistik bermutu yang
menjadi mainstream semacam pantheon, atau puncak yang mesti dicapai oleh
para jurnalis. Karena kebenaran yang ditampilkan bisa menggugah jutaan
orang yang menjadi pemirsanya untuk bergerak dan melakukan format
pemikiran ulang.
Sejujurnya kita di Indonesia mesti bahagia karena tidak mengenal
sebanyak mungkin tokoh tokoh jurnalis . Karena pada saat kita telah
mengenalnya, dan mengetahui mereka punya kesulitan besar untuk bisa
hidup di era sosial media, pada saat itulah kita paham bahwa negeri ini
tidak punya masa depan, dan itu bisa membuat hati kita yang berharap
perubahan lebih baik menjadi sakit. Seperti yang terjadi di Amerika
Serikat saat ini, di mana mutu, bias reporter, metode suatu pemberitaan
lebih dipermasalahkan, dibandingkan kebenaran material.
Saat Dan Rather roboh oleh berita nya sendiri. dipaksa mengundurkan
diri, lalu tiba era di mana penyajian kebenaran dalam proses jurnalisme
tidak lagi heroik, tidak lagi membawa semangat atau valor nya, dan saat
keterbukaan informasi tidak dimaksudkan untuk memunculkan suatu karya
jurnalistik yang bagus. Jika kredensi jurnalis di Amerika memburuk,
apalagi di negara kita di mana ada di antara mereka yang terdidik formal
dan mengecap gelar hingga doktoral, menjadi professor, menyebarkan
berita online berisikan hoax buatan mahasiswa.
Jurnalisme di Indonesia bahkan belum memulai kredensinya sendiri dengan munculnya peliputan yang serius, dengan paper trail,
atau verifikasi ketat pada narasumber dan kukuh pada otentisitas, yang
lantas tersaji berita benar benar menggoyahkan hati orang banyak. Dan
ini bukan karena kita tidak pernah menghasilkan sosok jurnalis hebat,
jurnalis kita hebat hebat, nyawa jadi mainan, nekat selalu nomer satu,
metodologi bisa lebih garang dari jurnalis di AS, tapi lebih pada
pemirsanya, khalayaknya, karena khalayak Indonesia mana yang concern pada nilai jurnalisme?
Ketika kami di Gugah.id mendapatkan tantangan, untuk melakukan proses Literasi Media, ada semacam self screening, apakah
blogger pantas melakukan proses Literasi Media? Tidak ada modal = tidak
ada keseriusan, tidak ada rutinitas = kemalasan, pendeknya dalam
kategori manapun Gugah.id tidak pantas melakukan proses literasi, justru
malah ikut dalam kondisi iliterasi yang saat ini masih menyengat publik
Indonesia.
Apa yang kami lakukan selama ini adalah mencoba “menimpali” hasil
pemberitaan yang sudah tersajikan di media yang beredar. Membangun opini
dan bukan riset pada apa yang tersaji, membentuk anggapan dari data
data orang ketiga, dalam semangat ingin seolah membuatnya terlihat
benar, bekal kami sekedar mengolah ulang logika pembacaan, dan mereduksi
flaw flaw hasil kerja jurnalistik orang lain, jelas ini bukan kerja
jurnalisme, mendekatinya pun tidak.
Sekedar apologetik, apa yang kami lakukan gugah.id adalah sekedar
bermedia. Bukan menyajikan laporan dengan kualitas jurnalisme tinggi.
Bermedia, memanfaatkan media untuk melakukan provokasi pada pemikiran
pemikiran Anda tentang suatu kejadian yang terlintas di setiap media.
Dengan kata lain, kami membantu Anda membaca peristiwa, kami membacakan
ulang suatu peristiwa, kami mendiktekan kembali peristiwa-peristiwa
dalam aksentuasi penyajian yang berbeda dari apa yang sebelumnya tampak
di media masa.
Tapi perlu menjadi catatan, bahwa kami mengerti benar mana hasil jurnalisme yang baik, dan mana yang fuck off.
Kami terobsesi untuk menyebarkan pemahaman, dan panduan kepada khalayak
agar mampu membaca kualitas jurnalisme yang unggul. Karena memang,
Indonesia masih berada di titik ini. Di titik berupaya untuk kenal, mana
produk jurnalisme yang baik, dan mana yang bohong.
Ketika Anda sebagai khalayak tidak mampu membedakan antara hasil
jurnalisme yang baik, dengan yang bohong. Dengan kata lain, jika Anda
tidak mampu membedakan hasil jurnalisme yang salah dan benar, dan hasil
jurnalisme yang baik dan buruk Anda hidup di dunia real dengan panduan
hidup yang salah. Dan panduan hidup yang salah itu Anda ikut bersikap
salah, jika kesalahan dilakukan secara massal, hasilnya adalah
kehancuran. Dan secara literal, kematian semua orang, seperti apa yang
terjadi di negara konflik.
Di Amerika Serikat, jurnalisme memang tengah sekarat, tapi sejujurnya
jurnalisme tidak akan pernah mati. Tidak ada yang gembira melihat
matinya ilmu jurnalisme untk sekedar memuaskan ego persoal, bahkan dari
para jurnalis pinggiran sendiri. Tidak ada dendam atau iri hati dari
mereka yang menulis di blog dan menggantungkan diri pada pay for click
dengan mereka yang dibayar dalam slip gaji mahal di media besar. Kita
para jurnalis, baik eceran ataupun borongan, sama sama jurnalis yang
terikat oleh kode etik dan keluhuran profesi.
Walau ada di antara kami yang tidak melakukan proses jurnalis yang
bagus, namun, bagi jurnalis yang pernah dididik kode etik, tidak akan
mengkhianati prinsip akan kebenaran dan penyajian fakta. Karena
jurnalisme tidak akan mati, pemirsanya lah yang rugi dan menapak jalan
pada kematian budaya dan lalu kematian fisik suatu bangsa.**
EmoticonEmoticon